ANTAGONISME TANGAN SAKTI (Ada Apa Dibalik Demo Berdarah 1 Juni 2016)

16 Jun 2016 - 11:06
(Oleh: Dr. Dra. Benedicta J. Mokalu, MSi / Sosiolog Unsrat)

(Oleh: Dr. Dra. Benedicta J. Mokalu, MSi / Sosiolog Unsrat)

Cicilia L (CL) sumber akar masalah demo berdarah. Tangan-tangan sakti pintar beralibi dengan mengatakan demo spontanitas, punya tujuan mulia. Kenyataan setiap demo ada banyak muatan kepentingan seperti politisasi agama, politisasi mahasiswa dan politisasi masyarakat hingga pertumpahan darah. Pada ujungnya Polisi disalahkan.

Pemain bola kelas dunia banyak tetapi hanya satu pemain dengan tangan Tuhan. Maradona di puja seantero jagat karena pintar menggocek bola melewati dua hingga tiga orang pemain lawan, kakinya punya mata, sulit ditebak penjaga gawang. Setiap kali pertandingan sepak bola kelas dunia para penggemar menantikan terjadinya gol-gol indah. Tanggal 4 Juni 2016 layar kaca TV disuguhkan pertandingan Copa Amerika ke 100 dan tanggal 10 Juni 2016 pembukaan pertandingan Piala Benua Biru (Piala Eropa) yang ke lima belas. Pertandingan sepak bola menjadi sarapan pagi pembuka sahur setiap penggemar. Setiap orang punya idola baik terhadap pemain juga negara.

Para penikmat sepak bola memiliki rupa-rupa alasan sehingga menggemari olah raga ini, di antaranya: (1) Seni Berkomunikasi. Selain riuh suara penonton yang menjadi ciri khas dalam pertandingan sepok bola adalah teriakan pelatih dan pemain. (2) Keindahan Memadukan Seni dan Kesehatan. Para pemain sepak bola harus sehat tubuh dan sehat mental. Sepak bola adalah olah tubuh dan jiwa sehingga pemain yang memenuhi kedua syarat tersebut menjadi legenda dan menerima bayaran sangat mahal. (3)  Sikap Sportifitas. Semua pemain sepaham bahwa perseteruan hanya terjadi di atas lapangan rumput selama petandingan, 2 X 45 menit. Jarang terjadi perseteruan sesama pemain di tengah lapangan berlanjut ke luar lapangan. Kecuali para pendukung dari masing-masing kesebelasan sering terjadi tawuran, saling berhantam hingga berdarah-darah. (4) Kerja Sama Tim. Kemenangan yang diraih dalam sebuah pertandingan adalah kemenangn tim. Tidak ada kemengan atas nama seorang diri. (5) Rendah Hati. Pemain sekelas Messi dan Ronaldo tetap membutuhkan seorang pelatih serta teman-teman lain. Sehebat-hebatnya Mesi dan Ronaldo tidak ada apa-apanya tanpa diimbangi dengan teman-teman lain yang juga hebat-hebat. Karena manusia tidak akan pernah menjadi sempurna tatkala hanya diri sendiri, manusia adalah makluk sosial butuh bantuan orang lain. (6) Disiplin Patuh. Pemain bintang sekalipun jika berbuat curang dan merugikan lawan pasti dikenakan hukuman dalam bentuk kartu kuning hingga kartu merah (sanksi). (7) Strategi (punya visi dan misi). Ketika pemain tidak bisa berkembang di lapangan atau mengalami cedera, atau untuk kepentingan strategi tim maka pemain harus ikhlas diganti oleh pemain lain. (8) Kepuasan Penggemar. Seorang pemain profesional ketika ada di lapangan harus menempatkan diri seperti seorang bintang film layar lebar. Apa pun yang dilakukan akan ditiru oleh para penggemar, mulai dari gaya rambut, ekspresi ketika menyarangkan gol ke gawang lawan, dan lain-lain.

Delapan prinsip dasar yang disajikan dibalik lapangan sepak bola sebenarnya berlaku juga dalam hidup di luar lapangan hijau. Baca artikel tanggal 19 April 2016. Judul: “Integritas Diri Sebagai Modal Bangsa (Mari Kita Berguru Pada Semut Membangun Budaya Malu). Secara singkat mau menegaskan bahwa dalam hidup keluarga, bermasyarakat dan bernegara bahkan berorganisasi pasti punya aturan main bersifat mengikat dan mengatur semua orang yang ada di dalamnya. Contoh: Polda Sulut sangat serius menguak kisruh GMKI dan Polisi pada 1 Juni 2016 di DPRD Kota Manado. Tribun 8 Juni 2016,P.23. “Polda Segera Tetapkan Tersangka (Pengusutan Penganiayaan Aktivis GMKI). Ketegasan ditunjukkan DPD GAMKI Sulut, yakni memberhentikan CL sebagai Wakil Bendahara DPD GAMKI Manado lantaran terlibat dalam kasus narkoba. Saat kami mengetahui bahwa CL merupakan tersangka kasus narkoba, dan ternyata CL adalah pengurus GAMKI Manado, kita langsung gelar rapat mendadak dan memutuskan untuk memberhentikan yang bersangkutan, jelas Meidy Tinangon, Ketua DPD GAMKI Sulut (fin/amg). Tribun, Kamis 9 Juni 2016, P.17 dan 23. “Kapolda Geser Lima Posisi Strategis (Mutasi sejumlah Perwira di Mapolresta. Buntut Pemukulan Aktivis GMKI).

Patut dipuji sikap tegas Kapolda Sulut dengan melakukan mutasi beberapa jabatan strategis di Mapolresta Manado. Sikap tegas Kapolda Sulut diharapkan mempermudah pengungkapan beberapa misteri dalam peristiwa demo berdarah  1 Juni 2016. Misalnya: Orang atau kelompok yang harus bertanggungjawab dalam peristiwa ini, sejak awal peristiwa CL peran GAMKI masih belum terlihat dan suara paling ramai setelah terjadi demo berdarah, sikap tegas GAMKI setelah Polda gencar mengusut kasus demo berdarah. Acuan analisis bahasan ini hanya sebatas informasi beberapa koran lokal sehingga  tidak akan mengupas lebih mendalam. Selebihnya merupakan domain penyidik Polda Sulut. Hanya saja refeksi kritis faktual mengatakan setiap peristiwa pengerahan massa di negeri ini selalu ada orang-orang “besar, punya kuasa, punya uang” (kaum elite) yakni mereka yang punya hoby “bermain api” dan cerdas bersembunyi dari jangkauan hukum.

Para elite ‘pintar bermain api’ dalam tulisan ini diartikan sebagai ‘orang pintar berkelit.’ Mereka sangat cerdik memanipulasi pikiran orang lain, menyebarkan permusuhan secara sistimatis, menggunakan panji agama, mahasiswa, masyarakat sebagai tameng perjuangan. Biasanya seseorang yang punya pengetahuan luas, punya banyak uang serta murah memberi, menjadi tempat berkumpul banyak orang. Setiap kata mereka diikuti dan dipatuhi sebagai acuan hidup sehingga mati akal sehat dan mau bertindak nekad sekalipun melakukan bom buruh diri (para teroris). Mereka yang tergolong para elite, di antaranya politisi, pengusaha, penguasa/para pejabat, para tuan tanah, tokoh-tokoh agama, atau mereka yang punya potensi berkuasa dan  berada disekitar lingkaran kekuasaan (elite). Berbicara tentang kelakuan kaum elite, Pareto dengan teori tentang gerakan elite, mendefinisikan “elite” yang didasarkan pada bakat-bakat pribadi. Baginya, elite adalah individu-individu yang paling mampu dalam setiap cabang kegiatan manusia. Elite ini berjuang melawan massa- melawan mereka yang kurang berbakat, kurang mampu – untuk mencapai posisi kekuasaan. Akan tetapi, dalam usaha ini mereka diblokir oleh kecenderungan kaum elite yang berkuasa untuk membentuk oligarki-oligarki yang mengabdikan diri sendiri (self perpectuating) dan turun-temurun. Kecendrungan ini membatasi gerakan kaum elite, yaitu, untuk maju secara pesat ke atas tangga sosial dari mereka yang terbaik dan yang paling berbakat.

Bertumbuh suburnya kaum elite dipicu oleh sikap permisif dan sikap menyederhanakan semua masalah. Kita tidak terbiasa membicarakan sebuah masalah dimulai dari mencari akar masalah, tetapi langsung terpaku pada akhibatnya (buahnya). Contoh: Semua orang ribut ketika terjadi demo  pada 1 Juni 2016. Lucunya, yang membuat heboh demo tersebut bukan pada esensi perjuangan, tetapi lebih pada kisah kisruh. Akibatnya, masyarakat yang punya cara berpikir kritis dengan nada sinis mempertanyakan motivasi murni GMKI mengadakan demo pada saat proses hukum sedang berjalan. Apalagi demo Jumat 10 Juni 2016, menuntut  DPRD bentuk Badan Kehormatan hanya untuk menyelesaikan masalah CL. “Rasanya tidak lucu Ormas mau atur institusi negara sekelas DPRD Kota Manado dan lebih lucunya lagi anggota Dewan dalam keadaan tertekan rasa takut langsung mengatakan setuju dengan beberapa pertimbangan.” Semua pihak mestinya sadar bahwa Dewan itu bukan milik Ormas tertentu saja, Dewan itu milik semua warga masyarakat, dan sebagai sebuah institusi negara punya aturan main. Negara  demokrasi liberal seperti Amerika Serikat sekalipun ada mekanisme prosedural yang harus ditaati, bukan karena rasa takut atau apapun alasan, apalagi mahasiswa.

Para mahasiswa adalah orang-orang cerdas dan kalau cukup cerdas sebenarnya banyak cara yang bisa digunakan untuk menyelesaikan masalah CL, bahkan masalah lainnya di bumi nyiur melambai ini. Fakta membuktikan bahwa kehadiran mahasiswa sangat dibutuhkan masyarakat, hanya saja harus dijaga agar idealisme mulia ini tidak dimanfaatkan oleh orang-orang yang “tangannya sudah terbiasa berlumuran darah” atau “predator kemanusiaan.” Mereka sudah pasti menertawakan GMKI dan Polisi. Olehnya, dalam segala hal tidak cukup hanya semangat saja, tetapi butuh lebih pintar dan lebih cerdas serta lebih peka sebelum memutuskan melakukan sebuah tindakan. Contoh: Semua ormas mau melakukan aksi (demo) terlebih dahulu melakukan komunikasi yang lebih intens hingga terbangun kesepahaman dengan semua institusi penegak hukum terutama Polisi. Harus diakui bahwa masih banyak orang di negeri ini diam-diam menghendaki terjadi kisruh di tengah masyarakat, apalagi kisruh mahasiswa dengan Polisi. Sejarah bangsa mencatat ada dua hal yang bisa dijual supaya terjadi konflik. Pertama: Penistaan terhadap salah satu Agama. Isu penistaan agama sebagai bumbu jualan paling murah dan paling laku membuat orang saling bermusuhan, saling membunuh. Kedua: Menggunakan mahasiswa sebagai kelinci percobaan. Mahasiswa dipilih sebagai “obyek” karena darah muda biasanya lupa mati dan akan menimbulkan simpatik luar biasa.

Gol Tangan Tuhan Maradona ada kemiripan dengan Antagonisme Tangan Sakti, dan kisah kasus CL. Ada pemain, penonton, ada yang kalah dan ada yang menang, ada para penggemar fanatik sehingga rawan kisruh. Menurut Pareto ada peran kaum elite yang berusaha mengaduk-aduk peristiwa ini agar terjadi saling berseteru. Kondisi saling berseteru dalam sosiologi politik dikenal dengan antagonisme (perlawanan atau permusuhan). Karena ada antagonisme maka harus ada usaha untuk menghilangkannya atau sekurang-kurangnya untuk menguranginya guna mencapai integrasi sosial. Bagi kaum Marxis, antagonisme politik pada hakikatnya bersifat ekonomis, tetapi mereka lebih bergantung pada sistem produksi dari pada persaingan bagi benda-benda konsumsi. Dan dalam teori Psikoanalisa Freud menjelaskan motivasi psikologis tentang pergolakan-pergolakan politik. Konflik-konflik batin misalnya, menghasilkan frustrasi yang berkembang ke dalam kecendrungan-kecendrungan kepada agresif dan dominasi.

Bombardir Media lokal terhadap demo berdarah 1 Juni 2016 tidak hanya melahirkan seorang bintang besar CL saja, juga menggeser akar masalah menjadi perseteruan Polisi dengan GMKI. Gelindingan bola panas ini pada akhirnya Ketua GAMKI Sulut buka suara yakni memberhentikan CL sebagai Wakil Bendahara DPD GAMKI Manado lantaran terlibat dalam kasus narkoba. Sikap tegas Ketua DPD GAMKI Sulut terkesan agak terlambat sebab idealnya sudah diambil sejak CL tertangkap tangan oleh BNNP, bukannya sesudah terjadi demo berdarah,setelah masyarakat menghajar habis-habisan Polda Sulut dengan nada sinis dan apriori dituduh melindungi CL, beberapa pejabat Polresta dimutasi dan beberapa anggota Polisi lain tengah disidik Propam Polda Sulut. Cara-cara seperti ini rasanya sudah sering dikumandangkan oleh mereka yang punya kuasa ketika terjadi kisruh di tengah masyarakat. Yang berbeda hanya panji perang yang dikibarkan GMKI adalah dua institusi sakral dalam masyarakat Sulut yakni AGAMA dan MAHASISWA.

Antagonisme tangan Sakti (ada apa dibalik demo berdarah 1 Juni 2016) mengingatkan masyarakat bahwa “singa berbulu domba” selalu punya maunya. Mari tingkatkan sikap waspada agar pikiran dan nurani kita jauh dari godaan. Hanya orang-orang yang sakit pikiran (frustrasi dan depresi) mau bermain api dibalik nama agama, mahasiswa, dan berusaha membenturkan mahasiswa dan ormas dengan Polisi. Ketua DPD GAMKI Sulut tidak usah pusing dengan proses hukum dan proses politik CL, biarkan berjalan sesuai mekanisme hukum yang berlaku. Masyarakat Sulut pasti sangat bangga, memberi pujian ketika Ketua DPD GAMKI Sulut mengatakan bertanggungjawab atas demo berdarah dan meminta Penyidik Polda Sulut hentikan proses penyidikan, demi pengentasan narkoba. “Sekian”

Bagikan :

KOMENTAR