BERPIKIR CERDAS

05 Jun 2017 - 09:06
(Oleh: DR. Dra. Benedicta J. Mokalu, MSi / Sosiolog Unsrat)

(Oleh: DR. Dra. Benedicta J. Mokalu, MSi / Sosiolog Unsrat)

Orang-orang pintar dan cerdas dengan deretan gelar SD hingga Profesor Doktor di negeri ini sangat melimpah. Hanya saja beberapa decade terakhir ini sangat sulit menemukan satu orang saja yang boleh jadi panutan dalam setiap tutur kata dan tindakan. Orang yang tetap konsisten dengan sikapnya dan keyakinannya sekalipun ada ancaman keselamatan jiwanya dan tawaran kenikmatan harta kekayaan yang menggiurkan.
Era reformasi yang ditandai dengan kehadiran tokoh-tokoh bangsa disambut dengan penuh antusias sebagai sebuah pencerahan baru. Masyarakat menyambutnya seperti pahlawan yang telah berhasil membebaskan bangsa dari cengraman ‘kuku harimau yang kelaparan.’ Namun, euphoria reformasi ini tidak bertahan lama, karena ‘mereka’ (tokoh-tokoh reformasi) tidak mampu kendalikan nafsu menghadapi derasnya godaan kekuasaan dan bergelimangan harta kekayaan. Mereka yang sebelum dan selama perjuangan reformasi sangat vocal berteriak bebaskan negeri ini dari nepotism,korupsi,keadilan hukum,keadilan ekonomi justru bersamaan waktu mengalami krisis identitas,idealism,optimism. Ternyata,mereka semua hanya menunggu waktu yang paling tepat untuk kembali ke wujud aslinya,yakni sebagai ‘tikus-tikus siluman’ sehingga terjerat kasus hukum.  “Mengapa mereka mudah berubah?”
Perubahan sikap dan perilaku para ‘pahlawan reformasi’ bukan sesuatu yang luar biasa, sehingga tidak usah dibesar-besarkan (dipolitisasi) karena jelas tidak ada unsur kriminalisasi. Dalam pandangan Plato (427-348), manusia dilihat secara dualistik yaitu unsur jasad dan unsur jiwa. Jasad akan musnah sedangkan jiwa tidak. Jiwa mempunyai tiga fungsi (kekuatan) yaitu logystikon (berpikir/rasional), thymoeides (Keberanian), dan epithymetikon (Keinginan). Menurut Aristoteles (384–322 SM) manusia  adalah hewan yang berakal sehat, yang mengeluarkan pendapatnya, yang berbicara berdasarkan akal fikirannya. Manusia itu adalah hewan yang berpolitik (Zoon Politicon/Political Animal), hewan yang bersekutu dengan sesama guna membangun keluarga,masyarakat dan negara.
Ketiga kekuatan  jiwa menurut Plato juga manusia serupa hewan Aristoteles telah memberi efek negative juga positif. Efek negative tergambar dari perilaku manusia hampir serupa dengan binatang. Sebaliknya dari sisi positif adalah sebagai stimulus bagi manusia sehingga memiliki kemampuan untuk memilah dan memilih,juga potensi jiwa yakni daya pembeda. Kemampuan berpikir membuat manusia melampaui batas makluk lainnya dalam hal kemampuan mengeksplorasi, memilih dan menetapkan keputusan-keputusan penting dan terbaik bagi kehidupannya. Semua itu,berkaitan erat dengan karakteristik manusia mengaktualisasikan semua kemampuan bagi dirinya dan kaum keturunannya. Maka, terlahirlah berbagai pemaknaan tentang manusia, seperti manusia adalah makhluk yang bermasyarakat (Sosiologis), manusia adalah makhluk yang berbudaya (Antropologis), manusia adalah hewan yang ketawa, sadar diri, dan merasa malu (Psikologis), semua itu kalau dicermati tidak lain karena manusia adalah hewan yang berfikir/ bernalar (the animal that reason) atau Homo Sapiens.
Kompleksitas karakter manusia dengan berbagai aneka ragam (plato dan Aristoteles) membenarkan bahwa pluralisme bangsa adalah kodrati,alamiah dan pemberian Tuhan. Jadi,tidak ada satupun dari kita yang mampu mengubahnya. Kini kecerdasan berpikir jadi acuan menentukan apa yang kita mau dan apa kita inginkan yang akan terjadi di masa depan. “Seperti apa bangsa ini di depan sana?” Inilah tugas besar yang sangat mendesak karena di depan mata sudah menunggu persaingan dan tantangan.
Pertama, Pilpres 2019. Perubahan menjadi lebih baik merupakan dambaan semua insan manusia Indonesia dari Sabang sampai Marauke dan dari Talaud sampai Rote. Tidak ada satupun dari kita yang berpikiran masih waras mau wariskan kemiskinan,kebodohan bagi anak cucu. Jadi, taruhan Presiden masa depan adalah pastikan bahwa dirinya mampu membuat perubahan dalam semua aspek kehidupan; keadilan ekonomi,kesehatan, pendidikan, lapangan kerja,kepastian hukum,keadilan hukum,demokrasi, pluralistis,membersihkan ormas bermasalah,membersihkan terorisme,membersihkan para koruptor dan penyakit psikotropika sampai keakar-akarnya. Isu-isu ini jauh lebih penting ketimbang memikirkan nama calon Presiden.  Siapapun orangnya tidak penting karena yang ditunggu adalah aksi nyata,yakni apa yang sudah dan sedang dikerjakan,dan apa yang sudah dikerjakan dirasakan manfaat oleh semua lapisan masyarakat. Masalah ideologis dan retorika politik rasanya sudah sangat basi,sudah tidak pantas dijual sekalipun dengan kekuatan money politik.
Kedua,pemimpin negarawan. Secara ensiklopedis seorang negarawan biasanya merujuk pada seorang politisi atau tokoh yang berprestasi (berjasa) bagi bangsa dan negaranya. Mereka yang mengabdikan pikiran dan tenaganya bagi kemajuan dan kemakmuran bangsanya. Seorang pemimpin adalah penjual sekaligus pembeli harapan, demikian petuah Napoleon Bonaparte. Jadi, Negarawan adalah orang yang berjasa dan berkorban demi bangsa dan negaranya, tidak memandang apa latar-belakang politiknya. Sebagaiman dikutip dari Filosof Aristoteles, seorang negarawan memiliki karakter moral yang pasti,para pengikutnya dapat meneladaninya dengan sepenuh hati. Seorang negarawan adalah yang memiliki watak yang baik dan senantiasa menjaga citra dirinya dengan melakukan aktivitas-aktivitas yang bermanfaat bagi masyarakat, bangsa dan negara. Dalam konteks Indonesia, seorang negarawan adalah orang yang sepanjang hidupnya menjadi cermin bagi sesama dalam mengamalkan ke-4 Pilar Kebangsaan, yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia  (NKRI).
Masalah negarawan, Plato (428-347 SM) berabad-abad lalu memberi sinyal bahwa masalah suatu negara tidak akan pernah berdamai dengan masyarakatnya hingga kekuasaan politik ada pada negarawan sejati (philosopher). Jelas, pemimpin negarawan berkorelasi langsung dengan cara seseorang mewujudnyatakan komitmen dirinya terhadap bangsa dan negara. Dalam konteks ini,maka tuntutan terhadap semua orang yang berlabel politisi dan pemimpin adalah harus mampu meminimalisasikan kepentingan pribadi dan kelompok, dan  memaksimalisasikan kepentingan bangsa/negara di atas segalanya. Maka,pemimpin transformatif merupakan dambaan karena diyakni mampu menjembatani semua kepentingan dan dengan harapan mampu menghantar sebuah negara dan bangsa sampai ke tujuan. Namun,selebihnya seorang transformative tidak hanya butuh dukungan dari sistem birokrasi,juga yang tak kalah penting adalah dukungan dari dalam rumah tangganya (keluarga). Faktor keluarga menjadi kekuatan kontrol internal dan efektif menuju good governance (Muqoddas, 2013).
Berpikir cerdas adalah kemampuan untuk berani memilah semua tawaran dan sekaligus berani mangatakan tidak tatkala tawaran tersebut membahayakan kelangsungan dan harmonitas bangsa dan negara (ciri negarawan). Negara demokratis adalah tujuan luhur perjuangan kita bersama guna mencapai bangsa yang makmur,beradab,berwatak dan bermoral. Oleh karena itu,sekalipun manusia adalah kemiripan dengan hewan (kera), tetapi anda dan saya karena rasionalitas tetap seorang manusia,bukan seekor manusia.

Bagikan :

KOMENTAR