Kasus Novel Baswedan: Apakah Negara Akan Membiarkan Begitu Saja Terjadinya Pelanggaran Hak Asasi Manusia?

17 Feb 2016 - 11:02

il

Tribratanewssulut.com – Pembahasan terkait perkara atas tindak pidana penganiayaan berat atas tersangka Novel Baswedan saat menjabat sebagai Kasat Reskrim Polresta Bengkulu, Rabu malam (11-02-2016), menjadi tema dalam acara Indonesia Lawyer Club di TV One.

Beberapa pakar hukum, baik pidana maupun tata negara hadir. Termasuk Kadiv Humas Polri, Irjen Anton Charliyan dan mantan Komisioner KPK, Abdullah Hehamahua. Juga, melalui sambungan telepon, berbicara pula salah satu Komisioner KPK.

Diskusi yang disiarkan live ini, mengerucut ke dalam dua kutub sudut pandang. Yaitu, antara yang mendorong agar kasus hukum Novel Baswedan diselesaikan “di luar” mekanisme hukum melalui penggunaan hak yang dimiliki Kejaksaan Agung, dan yang tetap berprinsip bahwa proses hukum harus ditegakkan melalui proses pengadilan yang profesional, obyektif dan independen.

Kubu pertama, merujuk pada sikap Presiden Joko Widodo sebagai Kepala Pemerintah yang bersikap agar kasus ini diselesaikan melalui proses hukum yang normatif. Ini yang kemudian dipersepsikan, bahwa kasus ini bisa diselesaikan tanpa mekanisme pengadilan, yaitu melalui Hak Kejaksaan Agung untuk melakukan deponeering atau SKP2 atau Surat Ketetapan Penghentian Perkara.

Pandangan ini, secara serius mendapat respon keras dari pakar dan praktisi hukum. Johnson Panjaitan, menegaskan bahwa penghentian proses hukum di luar pengadilan, apalagi dalam perkara Novel Baswedan ini sudah dinyatakan P21, akan berimplikasi buruk pada penegakan hukum.

“Ini akan meruntuhkan kepercayaan rakyat kepada penegakan hukum di Indonesia. Akan menjadi preseden, dimana seseorang yang bermasalah dengan hukum, akan menarik kekuatan politik untuk membebaskan dirinya,” kata Johnson.

Dugaan atau persepsi bahwa kasus ini terkait dengan kriminalisasi, sangat dangkal. “Kriminalisasi itu kalau sudah dibuktikan di pengadilan. Kalau belum dibuktikan, bagaimana bisa disebut sebagai kriminalisasi?” tegas Johnson.

Mantan Komisioner KPK, Abdullah Hehamahua menilai, bahwa secara pribadi dia melihat kasus ini sebaiknya diproses secara obyektif. Artinya, tidak ada bargaining atau tawar-menawar. Mengingat, posisi KPK sebagai lembaga harus independen.

Yang menarik dari pendapat para pakar, adalah pandangan yang disampaikan oleh ahli hukum pidana, Prof Romli Atmasasmita. Sebagai orang yang pernah dikriminalisasi, Prof Romli dengan tegas menyatakan bahwa persoalan kriminalisasi tetap harus dihadapi di pengadilan.

“Kalau tidak dibuktikan di pengadilan, itu namanya pengecut!” tegasnya.

Dalam konteks penerapan hukum pidana, Prof Romli mengakui bahwa ada pertimbangan atas penghentian kasus. Baik itu azas keadilan, azas kepastian hukum, azas manfaat atau azas kepentingan umum. “Tapi, yang harus diingat saat ini adalah, dalam proses penegakan hukum ada azas yang juga harus dipenuhi. Yaitu, perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia,” katanya, tegas.

Dalam konteks perkara Novel Baswedan, dimana malam itu dihadirkan korban yang secara terbuka mengakui bahwa dirinya telah dianiaya dan ditembak sehingga mengalami cacat seumur hidu, Prof Romli menyatakan simpati dan keprihatianannya.

“Kasus yang seperti ini banyak. Pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia. Kita memiliki hukum mendasar, yaitu Pancasila dan UUD ’45 yang pada intinya memberikan perlindungan pada Hak Asasi Manusia,” katanya.

“Lantas, apakah dalam kasus ini kita akan biarkan terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia?” tegas Prof Romli.

Karena itu, proses pengadilan adalah perangkat obyektif untuk menilai bagaiman negara melindung Hak Asasi Manusia. Apalagi, posisi Jaksa Penuntut adalah pengacara Negara yang mewakili korban.

“Apakah akan diabaikan begitu saja perlindungan negara terhadap Hak Asasi Manusia?” (tbnews)

 

[Humas Polda Sulut]

Bagikan :

KOMENTAR