MEMBALUT LUKA DEMOKRASI

12 Jun 2017 - 09:06
(Oleh: DR. Dra. Benedicta J. Mokalu, MSi / Sosiolog Unsrat)

(Oleh: DR. Dra. Benedicta J. Mokalu, MSi / Sosiolog Unsrat)

Kita boleh saja berbeda pendapat bahwa kekisruan Pilkda DKI telah/tidak meninggalkan luka, dan biang keladinya adalah Ahok yang minoritas ini telah dengan sengaja menyentuh keyakinan mayoritas. Kata-kata sentuhan refleksi mengatakan; mestinya kita bersyukur karena mulutnya si Ahok ini membuat semua pihak boleh bersatu,dan untuk sejenak menyingkirkan kepentingan masing-masing,karena memiliki musuh bersama,Ahok. Hanya saja ada nada lebih kritis keberatan dengan  pernyataan ini. Mana mungkin hanya Ahok seorang diri harus kerahkan semua orang dari seluruh penjuru negeri. Yang benar saja,inikan canda yang tidak lucu,sudah waktunya kita mulai dengan budaya jujur. Jadi,belum tentu untuk mencekal Ahok,ini pasti ada sasaran tembak jauh lebih besar,yakni Jokowi. “Benarkah demikian?” Disilahkan saudara menjawab sendiri!
Apapun ceritera semua tinggal kenangan,karena defakto dan dejure, Pilkada DKI 2017 dengan seribu kisah romatika sudah usai. Terutama demi memenuhi rasa keadilan Umat Islam (ini yang sering diminta para pendemo) maka Para Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara menghukum Ahok dua tahun penjara. Mudah-mudahan keputusan para Hakim ini memuaskan semua pihak. Sekalipun keputusan ini meninggalkan banyak nada sesal,seperti; ada rasa tidak pecaya bahwa para Hakim bebas dari semua bentuk tekanan (independen),para Hakim tidak mungkin menolak permintaan pendemo (mayoritas) yang terjadi secara bergelombang,dan jika saja masih ada setitik nilai kejujuran, keberanian dan kebenaran, ceriteranya pasti berbeda. Bahkan beberapa ungkapan keprihatinan, seperti: ujian kualitas demokrasi, ujian semangat bertoleransi dan pluralisme,ujian komitmen kebangsaan dan arogansi mayoritas terhadap minoritas,ujian kemandirian penegak hukum tidak tunduk pada tekanan masa,masyarakat terpolarisasi, negara terancam bubar, pengusaha mengambil sikap wait and see (waspada dan menunggu),peluang bagi provokator memanfaatkan khaos,minoritas jangan bermimpi jadi pemimpin di kalangan mayoritas,serta seribu satu ungkapan rasa keprihatinan lainnya.
Semua bentuk ungkapan keprihatinan ini tidak serta merta mengubah keputusan para Hakim, selain melalui proses Pengadilan. Namun,yang terpenting dari peristiwa ini adalah sebagai sebuah pembelajaran agar semua warga negara wajib hukumnya untuk menghargai semua keputusan Hakim (Penegak Hukum) di negeri ini. Oleh karena itu,salah satu sikap yang benar adalah harus patuh terhadap hukum dengan berani menghadapi proses hukum,bukan lari bersembunyi dari proses hukum.
Dari sisi pandang Sosiologi,hiruk pikuk Pilkada DKI kurang lebih mewakili suasana kebathinan masyarakat bangsa ini. Bahwa bangsa ini masih ada banyak masalah dalam proses sosialisasi, interaksi,beradaptasi guna menghadapi perubahan sosial (berdemokrasi) sehingga butuh penanganan khusus,di antaranya:
Pertama,membangun sikap saling percaya. Salah satu harga yang sangat mahal di negeri ini, pada akhir-akhir ini adalah sikap saling percaya. Orang dengan mudah percaya sebaran Medsos yang memuat ujaran kebencian,fitnah,permusuhan. Aneh,mereka yang terprovokasi dengan Medsos justru sangat menikmati sebagai bentuk kebenaran. Fenomena ini membenarkan beberapa pendapat yang mengatakan,bahwa: Masyarakat kita sedang mengalami erosi identitas, mati akal sehat dan mati hati nurani (masyarakat sakit). “Bagaimana dengan anda?” Hendaknya setiap orang waspada karena perilaku orang dalam keadaan ‘sakit’ seperti ini tidak mampu control semua tutur kata dan tindakan. Pikiran mereka sangat liar dan bias tak menentu arah dan tujuan (ngawur). Orang yang sedang dalam guncangan identitas tidak akan pernah menganggap orang lain di sekitarnya memiliki sifat baik. Ia hidup dalam tekanan dan penuh rasa takut  sehingga dihantui rasa curiga (neurosis).
Kedua,manipulasi kekuatan penekan. Pengerahan masa untuk menyuarakan hak-hak dalam era demokrasi tidak ada yang salah bahkan dilindungi oleh UU negara. Tetapi,dikala pengerahan masa untuk menekan kekuasaan negara terutama lembaga – lembaga Judikatif (Polisi,Jaksa dan Hakim) hingga mengganggu ketertiban dan kepentingan umum, maka adalah sangat wajar negara (Kepolisian) harus hadir, menegakkan hukum. Diingatkan,dalam situasi seperti ini negara sangat dilarang bermain mata dengan kelompok-kelompok penekan hanya sekedar untuk membangun pencitraan diri supaya diakui sebagai pemimpin demokratis. Untuk masalah pencitraan,bangsa ini pantas bersyukur kepada Presiden Jokowi yang  tak jenuh-jenuhnya memberi semangat buat Kepolisian dan TNI agar menghadapai semua masalah bangsa harus tetap sigap,siaga,cerdas dan persuasive dengan mengedepankan semangat blusukan (merangkul, merayu, memutuskan) sesuai hukum yang berlaku.
Selebihnya, berbicara ‘kekuatan penekan’ sesungguhnya inti persoalan bukan pada pengerahan masa atau tidak mengerahkan masa. Sebenarnya Negara sudah siapkan banyak sekali saluran untuk menyampaikan ide,gagasan secara berjenjang dikala terjadi gesekan dalam hidup sosial dan politik,yakni lembaga DPR dari Kabupaten – Kota, Propinsi hingga Nasional. Hanya saja masalah klasik masih tetap menghantui bangsa ini,sangat sulit disembuhkan,yakni dalam segala hal kurang maksimal. Fakta,semua elemen masyarakat dan negara baru bekerja ketika ada hajatan demokrasi atau ketika terjadi masalah. Dahulu semangat gotong royong adalah mengerahkan orang sebanyak-banyaknya guna menolong sesama yang berkesusahan. Sekarang gotong royong dipahami sebagai mengerahkan masa sebanyak-banyaknya untuk menekan dan menakuti orang lain yang berbeda pendapat dan pandangan. Kondisi ini menjadi lebih parah karena saluran berdemokrasi dengan sengaja tidak difungsikan secara maksimal.
Ketiga,Kepolisisan (Penegak Hukum) bukan penyembuh luka bathin. Ketika terjadi salah ujar,salah tafsir dan tafsir salah serta salah tingkah dan tingkah salah dalam urusan agama,pasti ada pihak yang merasa terluka. Luka ini sudah pasti tidak bisa diobati hanya karena orang tersebut dihukum berat. Apalagi luka yang sudah digoreng dengan bumbu sangat pedas/banyak muatan kepentingan politik. Gorengan politik hingga lupa ingatan yang membuat kita kurang menghargai Kementrian Agama dan Badan Kerja Sama Umat Beragama. Kedua lembaga ini sepertinya suara kurang nyaring,padahal diharapkan mampu menyambung kembali ‘nafas kesepahaman’ketika terjadi  salah paham.
Kalau semua masalah agama ujungnya harus diselesaikan oleh Kepolisian dan Pengadilan maka sejak sekarang kita segera hapus semua rasa bangga  sebagai bangsa beragama,bangsa berbudaya,serta bangsa yang sangat kaya dengan muatan kearifan lokal. “Mengapa?” Ternyata kita tanpa terkecuali tidak mengerti semua makna dari kata: “Beragama,Berbudaya,Berkearifan Local.” Padahal kata kuncinya adalah saling maaf-memaafkan,saling mengampuni karena itulah Cinta Kasih itu sendiri yang bersumber dari Tuhan. Anda yang selalu bersuara nyaring membela Tuhan, mesti tunjukan komitmen kesejalanan tutur kata dan tindakan. Sayang kalau anda hanya berteriak saja tetapi tidak mengerti bahwa salah satu sifat Tuhan adalah Maha Pengampun.
Membalut luka demokrasi pada hakekatnya adalah memahami dan mengerti serta mau mengaplikasikan makna saling mengampuni dalam kasih Tuhan. Karena tiada yang lebih indah dalam hidup ini tatkala menyaksikan setiap anak bangsa bertegur sapa dengan tulus ikhlas, saling maaf – memafkan,saling bantu membantu,tolong menolong,hidup dalam semangat kebersamaan sabagai saudara. Oleh karena itu, sebagai bangsa kita harus berani mulai hidup baru,dengan cara: kita harus berhenti berbohong, kemunafikan, arogansi, singkirkan semua topeng termasuk topeng agama, kedepankan semangat jujur dengan diri sendiri dan jujur dihadapan Tuhan. Sadarlah,kita semua sudah sangat lelah dan terlalu boros membuang energy untuk hal-hal yang tidak produktif.

Bagikan :

KOMENTAR