PANCASILA PEREKAT PLURALISME

09 May 2017 - 08:05
(Oleh: DR. Dra. Benedicta J. Mokalu, MSi / Sosiolog Unsrat)

(Oleh: DR. Dra. Benedicta J. Mokalu, MSi / Sosiolog Unsrat)

Bangsa yang pluralistis ini terluka, karut-marut masalah sosial masyarakat sepertinya tidak jelas arah dan tujuan. Sekelompok orang dengan tidak merasa bersalah melangkahi batasan – batasan kewajaran,hanya dengan mengedepankan selera dan maunya sendiri. Atas nama demokrasi mereka dengan sengaja mengobok-obok pluralisme agar terjadi khaos dan anaki di tengah masyarakat. Mereka terang-terangan memprovokasi masyarakat supaya mengabaikan norma-norma keberagaman, tidak saling menghargai dan mengancam harmonitas. Sebagian warga bangsa terhanyut dengan retorika dari “bibir-bibir berbisa,”supaya saling tidak percaya,saling mengujat,saling mengancam, saling memaki. Tetapi sayangnya, pada waktu bersamaan ‘pengumbar retorika’ ini juga dengan suara lantang mengaku sebagai orang ber-Iman dan sebagai orang ber-Tuhan, bahkan mengklaim dirinya sebagai orang atau kelompok pembela Tuhan. Sebuah pertanyaan refleksi sederhana,tidak lucu dari Gusdur (Alm),mungkin saja masih relevan bagi semua anak bangsa. Terutama bagi mereka yang menganggap dirinya sudah ‘Sangat Ber-Iman’ juga bagi mereka yang dianggap ‘Masih Kafir,’ yakni; “Mengapa Tuhan harus dibela?”
Sikap optimisme memberanikan diri mengatakan bahwa kesemrawutan (euphoria) demokrasi dengan berdemonstrasi di tengah masyarakat adalah pekerjaan rumah yang harus dijawab dengan segera oleh semua komponen bangsa,terutama berkaitan sangat erat dengan:
1)    Kesadaran bahwa pluralisme bukan keterpaksaan. Pluraslime sudah terpatri sejak tahun 1928, ketika Sumpah Pemuda dan diteguhkan Proklamsi Kemerdekaan 1945. Kalau saat ini masih ada orang atau sekelompok orang yang dengan sengaja mengukit-ungkit dan mengobo-obok pluralisme bangsa ini, semestinya harus berhadapan dengan hukum. Negara harus berani mengambil sikap tegas agar orang atau kelompok tersebut ditangkap dan segera dijebloskan ke dalam penjara, sebagai makar,titik. Bersamaan waktu menunjukkan bahwa kesadaran keberagaman masih merupakan pekerjaan rumah yang terus menerus harus disuarakan. Lebih jelas,harus ada program lebih riil menyentuh semua lapisan masyarakat tentang kesadaran berbangsa dan bernegara. Saat ini sepertinya pengetahuan tentang ke-Indonesiaan belum membumi sampai ke akar-akar rumput. Kita saksikan orang-orang yang mudah digiring biasanya karena mereka ‘kurang’ pengetahuan tentang kebangsaan. Ingat,pengetahuan adalah awal dari cinta. Adalah mustahil orang mau mencintai bangsa ini tanpa memiliki pengetahuan yang cukup. Terkesan selama ini kalau kita bicara Pancasila, NKRI, Pluralisme,UUD 45, sepertinya masih sebatas tatanan jargon ketika menghadapi Pilkada dan Pilpres. Atau gencar bicara pluralism,NKRI,Pancasila baru ramai setelah terjadi gesekan-gesekan akar rumput (jangan terlambat lagi).
2)    Keberanian mengubah Nafsu jadi Rahmat. Tidak ada yang salah ketika semua orang berusaha meraih kekuasaan, harta,pangkat dan kedudukan. Misalnya: Kampanye dengan rupa-rupa warna – warni gaya dan cara; hitam,putih,abu-abu dan sebagainya. Inilah dinamika kehidupan dan manusia hidup pasti punya hasrat untuk menggapainya. Maka tidak heran kalau semua orang saling bersaing untuk memuaskan hasratnya. Usaha memenuhi hasrat akan menjadi bermasalah ketika sebagian orang dengan sangat nekat menghalalkan segala macam cara,di antaranya: Membenarkan ‘niat busuknya’ dengan mengacu pada demokrasi Barat, yang nota bene ‘Kebebasan Tanpa Batas’ yang bertentangan dengan Demokrasi Pancasila. Tetapi, bersamaan waktu dari mulut yang sama semua orang rame-rame mengecam demokrasi Barat sebagai ‘tidak beradab.’ Pertanyaan, apakah bangsa kita hanya bisa mencelah orang lain, mencelah bangsa lain? Padahal kalau orang-orang beradab  diidentikan dengan orang-orang ber-Agama dan mudah-mudahan juga diidentikan dengan orang-orang ber-Iman. Kalau kebiasaan saling celah tetap dilestarikan,rasanya pantas dipertanyakan: “Benarkah kita bangsa ber-Iman dan bangsa ber-Tuhan dan pantaskah kita mengklaim diri menjadi Rahmat bagi Alam Semesta?” Padahal,kalau kita mau jujur sedikit saja sebenarnya masyarakat Nusantara sudah lama hidup dengan kebudayaannya masing-masing,jauh sebelum kehadiran agama. Jelas, masyarakat sudah sangat santun bahkan menghargai semua makluk alam semesta. Kalau kita tidak waspada,jangan-jangan sebenarnya bangsa ini lebih butuh kebudayaan, ketimbang agama, selama agama selalu dipakai sebagai sumber masalah. “Camkan!!!”
3)    Tinggalkan Politik Identitas. Politik identitas pasti sebagai ancaman massif dalam keberagaman bangsa kini dan ke depan. Bahkan boleh dibilang politik identitas membuktikan bahwa demokrasi kita bukan sudah melangkah lebih maju,tetapi terpuruk jauh ke belakang. Kita tentunya tidak perlu meratapi praktek politik identitas ini,karena sifatnya hanya sementara saja. Apapun yang terjadi,kita harus akui bahwa untuk sebagian dari saudara-saudara kita, politik identitas sangat sulit untuk dilupakan,bahkan masih sangat sulit meninggalkan politik identitas ini. Sekalipun demikian,panggilan sebagai sebangsa akan mampu mengurai kekakuan sikap dan melapangkan  hati sehingga dengan bijak mencarikan solusi bersama-sama,karena politik identitas adalah masalah kita bersama. Oleh karena itu,optimisme dan percaya diri bahwa kita adalah bangsa pemenang,dengan tetap menggelorakan  jiwa nasionalime dan patriotism sehingga semua anak bangsa tidak mudah terpuruk sekalipun berhadapan dengan realitas masalah silih berganti.
Para pendiri bangsa ini sudah meletakkan landasan pijak bangsa ini, kini dan ke depan untuk bertumbuh dan berkembang dalam semangat harmoni demokrasi Pancasila,menjaga marwah pluralism, NKRI, Pancasila dan UUD 45. Nah, sebagai pewaris bangsa,kita harus yakin bahwa semua yang terjadi saat ini sebagai proses menjadikan bangsa ini lebih kuat,lebih solid,lebih solider,lebih peka,lebih beradab,dan sekaligus mau berbenah diri karena kita adalah bangsa pemenang dalam era persaingan global.

Bagikan :

KOMENTAR