RESPECTUS DE MORTUI (PENGHORMATAN KEPADA YANG MATI)

15 Nov 2018 - 13:11

RESPECTUS DE MORTUI (PENGHORMATAN KEPADA YANG MATI)

Memahami Operasi Disaster Victim Identification (DVI)


Oleh: dr. Paula Lihawa, MForSc. (Kaur Keskamtibmas Subbid Dokpol Biddokkes Polda Sulawesi Utara)

‘LEBIH BAIK TIDAK TERIDENTIFIKASI DARIPADA SALAH IDENTIFIKASI’
Bencana menyisakan korban yang tidak terhitung, baik korban luka, korban harta maupun korban mati. Jatuhnya pesawat Lion Air JT610 di Teluk Karawang Propinsi Jawa Barat baru-baru ini menyebabkan 187 orang penumpang dan awak pesawat menjadi korban dalam kecelakaan yang diklaim merupakan kecelakaan pesawat terburuk selama 20 tahun terakhir ini.

Bencana jatuhnya Lion Air ini membawa nama Disaster Victim Identification (DVI) kembali dikenali oleh masyarakat luas. Nama DVI pernah dikenal oleh masyarakat saat tragedy Bom Bali I dan II, bom Marriot, kecelakaan pesawat Garuda di Jogjakarta, bom Kedutaan Australia dan berbagai bencana lainnya di Indonesia baik bencana alam maupun buatan manusia.

APAKAH DISASTER VICTIM IDENTIFICATION (DVI) ITU?

DVI dibentuk berdasarkan adanya kebutuhan untuk penanganan korban-korban yang meninggal akibat bencana massal. Pada saat terjadi bencana, banyak pihak yang bergerak untuk menyelamatkan dan mengurus para korban yang terluka, namun disisi lain ada korban yang meninggal yang juga butuh ditangani dengan benar. DVI merupakan suatu prosedur untuk mengenali korban bencana yang meninggal dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan sah dimata hukum yang mengacu pada prosedur baku yang diterbitkan oleh Interpol.

MENGAPA PROSEDUR DVI DIPERLUKAN?

DVI diperlukan sebagai metode pengenalan korban dengan tujuan untuk kepentingan hukum yang berhubungan dengan hak waris, asuransi, dan status pernikahan. DVI juga dibutuhkan sebagai sarana penegakkan hak asasi manusia serta menjadi bagian dari suatu penyidikan.

Secara umum, jika seorang meninggal dunia karena sebab alami atau kecelakaan, jenazah yang bersangkutan akan mudah dikenali oleh sanak keluarga sebab masih terlihat serta relatif utuh. Namun pada jenazah-jenazah korban bencana hal sererti itu jarang terjadi. Kondisi jenazah yang sudah rusak, terpotong, terbakar dan hancur membuat prosedur pengenalan secara langsung akan sulit terlaksana. Bahkan keluarga terdekat akan mengalami kesulitan untuk mengenali disebabkan oleh kondisi-kondisi demikian. Jika hal ini terjadi maka dapat mengakibatkan jenazah tertukar dan ada keluarga yang tidak bisa menerima jenazah kerabat mereka karena keraguan akan identitas jenazah tersebut.

METODE IDENTIFIKASI YANG DIGUNAKAN DALAM PROSEDUR DVI

Prosedur DVI mengutamakan metode pengenalan yang ilmiah dengan menekankan pada beberapa metode yaitu primer dan sekunder. DVI mengidentifikasi dengan tiga metode identifikasi primer yang harus ditemukan pada korban-korban bencana. Tiga metode tersebut adalah pengenalan lewat sidik jari, data gigi serta DNA. Disamping tiga data primer, prosedur DVI juga mengidentifikasi lewat data sekunder yaitu data medis serta barang-barang pribadi yang melekat dan terikut pada tubuh korban. Dahulu foto korban semasa hidup merupakan salah satu alat pengenalan sekunder pada korban, namun dengan berkembangnya teknologi dimana banyak orang sudah memperbaiki tampilan foto dirinya membuat foto korban merupakan hal terakhir yang dapat digunakan sebagai metode pengenalan korban.
Sidik jari merupakan alat pengenalan yang utama karena tidak ada dua manusia dibumi ini yang mempunyai pola sidik jari yang sama bahkan jika kembar identik sekalipun. Di Indonesia pola sidik jari kita telah tercatat secara resmi saat kita memperoleh Kartu Tanda Penduduk (KTP) serta saat ini mengambil Surat Izin Mengemudi (SIM) sehingga memudahkan saat operasi DVI dilakukan untuk mengambil data penduduk disertai dengan data sidik jari kemungkinan korban. Terkadang jika kondisi mayat saat ditemukan sudah berada pada tahap pembusukan lanjut maka sidik jari sukar dipakai sebagai alat identifikasi. Demikian juga jika mayat berada didalam air dalam waktu yang lama. Ada berbagai cara yan dapat dipakai untuk mengembalikan sidik jari kepada kondisi awal namun dengan tingkat kesulitan yang tinggi serta tingkat ketepatan menjadi berkurang.

Selain sidik jari, data utama untuk identifikasi adalah melalui data gigi. Data gigi yang dimaksud adalah data gigi setiap individu yang biasanya tercatat pada dokter gigi langganan atau dokter gigi keluarga. Sama seperti sidik jari, tidak ada dua orang didunia ini yang memiliki data gigi yang sama dan sebangun. Oleh sebab itu data gigi merupakan alat identifikasi yang utama. Kesulitan yang ditemui terutama kepada orang Asia pada umumnya dan Indonesia pada khususnya adalah sedikit sekali orang Indonesia yang mempunyai data gigi lengkap hal ini disebabkan karena kurangnya kesadaran orang Indonesia untuk memeriksakan gigi mereka secara berkala. Orang Indonesia kebanyakan berkunjung ke dokter gigi hanya jika ada masalah dengan gigi mereka dan sudah sangat nyeri. Pada beberapa instansi pemerintah seperti TNI/Polri sudah mewajibkan para personilnya untuk membuat catatan gigi dan menyimpannya pada basis data instansi demi kepentingan identifikasi nantinya. Keunggulan metode identifikasi melalui data gigi adalah tingkat ketepatan yang tinggi bahkan jika jenazah yang ditemukan sudah hangus terbakar, gigi korban masih dapat diselamatkan dengan metode tertentu dan dapat dikenali. Gigi juga dapat menjadi sample untuk diambil data DNA.

Metode ketiga dan yang paling akurat adalah DNA. DNA sederhananya adalah asam amino yang menyusun manusia sebagaimana adanya sekarang. DNA dari susunan kimianya merupakan rantai ganda yang menyusun genetika manusia seperti warna rambut, warna kulit, warna mata juga kemungkinan penyakit bawaan. DNA yang ada ditubuh tiap manusia merupakan bawaan separuh dari ayah dan separuh dari ibu. Jika dengan anggapan bahwa masing-masing orang tua kita juga membawa separuh dari DNA orang tua mereka maka DNA yang kita punyai saat ini merupakan sepersekian dari DNA leluhur kita. Untuk kepentingan identifkasi maka dibutuhkan DNA pembanding dari ayah dan dari ibu. Jika salah satu atau kedua orang tua sudah meninggal dunia maka dibutuhkan contoh pembanding dari semua saudara kandung yang dimiliki. Jika korban sudah berkeluarga dan mempunya anak maka sebagai pembanding bisa diambil dari anak dan istrinya. Banyak bagian tubuh manusia yang bisa diambil sebagai contoh pembanding DNA misalnya darah, cairan tubuh (ludah, cairan vagina dan sperma), rambut, gigi dan tulang. Berbagai metode bisa digunakan untuk kepentingan pengambilan contoh pembanding DNA. Di Indonesia digunakan metode yang paling mudah dan tidak melukai serta tidak membuat nyeri yaitu menggunakan hapusan pipi. Sementara contoh DNA pada korban dapa diambil dari bagian tubuh apa saja namun yang paling umum adalah rambut, gigi atau tulang.

Satu kelemahan dari DNA adalah seseorang bisa mempunyai dua gambaran DNA jika orang tersebut pernah menjalani prosedur transplantasi sumsum tulang untuk kepentingan medis. Pada orang tersebut akan tergambar dua profil DNA yang nantinya bisa membuat suatu kebingungan dan keraguan. Jika hal ini ditemui maka metode identifikasi sekunder memainkan peran yang penting. Metode tersebut adalah catatan medis korban. Sekali lagi kekurangan dari kita orang Indonesia adalah sangat jarang memiliki catatan medis yang lengkap sejak kita lahir. Kebanyakan dari kita akan mempunyai catatan medis jika pernah mengalami gangguan kesehatan dan dirawat di Rumah Sakit. Sementara orang Eropa, Amerika dan Australia telah mempunyai sistim dokter keluarga dimana semua yang menyangkut data kesehatan seseorang rapi tersimpan dalam catatan seorang dokter keluarga.

APA YANG TERJADI PADA SUATU OPERASI DVI?

Operasi DVI dimulai sesaat setelah terjadi bencana massal. Pengendali operasi DVI adalah Commander in Chief dalam hal ini adalah Kepala Bidang Kedokteran dan Kesehatan (Kabid Dokkes) Polda setempat. Dengan berkoordinasi dengan seluruh unsur yang terlibat dalam pencarian dan penanggulangan bencana, Commander in Chief harus segera menentukan langkah yang diperlukan dalam suatu operasi DVI seperti penetapan tempat penampungan jenazah sementara, kamar jenazah untuk keperluan identifkasi, memanggil semua ahli identifikasi serta berkoordinasi dengan regu pencari untuk fase TKP.

Sebuah operasi DVI terdiri dari lima fase yaitu: Fase TKP, Fase Post Mortem, Fase Ante Mortem, Fase Rekonsiliasi dan Fase Debrieving.

A. Fase TKP (Scene Phase)

Fase TKP adalah fase dimana banyak unsur-unsur yang terlibat terutama unsur pencarian korban. Setelah korban yang selamat mendapatkan penanganan dan evakuasi, maka korban meninggal juga harus dipindahkan dari tempat kejadian ke tempat penampungan jenazah sementara untuk menunggu proses identifikasi. Pada fase ini digunakan formulir khusus yang berwarna merah jambu (Pink Form). Formulir ini akan diikutkan kedalam kantong jenazah atau bagian tubuh yang ditemukan hingga proses identifikasi pada fase Post Mortem dimulai. Formulir ini berisi segala sesuatu mengenai jenazah atau potongan tubuh yang ditemukan baik cirri umum maupun cirri khusus beserta barang pribadi yang dipakai atau yang melekat pada jenazah. Pada setiap pelatihan penanggulangan bencana seharusnya unsur-unsur yang terlibat diberi pelatihan juga bagaimana menangani dan mengisi formulir merah muda agar dapat lebih mempermudah proses identifikasi.

B. Fase Post Mortem (Post Mortem/PM Phase)

Fase ini merupakan fase krusial dimana proses identifikasi dilakukan. Jika pada saat pengisian formulir merah muda pada fase TKP terjadi kekeliruan maka kemungkinan besar proses identifikasi akan terganggu. Fase ini dilakukan didalam kamar jenazah atau tempat yang disiapkan sebagai kamar jenazah. Tidak ada proses otopsi dalam fase ini karena penyebab pasti kematian korban adalah bencana yang terjadi. Dalam fase ini yang dilakukan adalah memeriksa semua data yang ditemukan pada jenazah atau potongan tubuh korban dan dicocokkan dengan isi formulir merah muda.

C. Fase Ante Mortem (Ante Mortem/AM Phase)

Pada fase ini biasanya dibuka Posko Pelaporan Orang Hilang dimana keluarga korban dapat melaporkan segala sesuatu yang mereka ketahui baik cirri fisik maupun cirri khusus korban atau terduga korban kepada petugas Posko. Pada fase ini masing-masing laporan akan dicatat dalam formulir khusus berwarna kuning (Yellow Form). Formulir kuning ini harus menjadi bayangan cermin dari formulir merah muda yang digunakan pada fase TKP dan Post Mortem. Pada fase ini juga dilakukan pengambilan sample DNA kepada keluarga terdekat korban jika diperlukan. Pada saat keluarga melaporkan segala yang mereka ketahui tentang korban atau terduga korban sebaiknya membawa barang-barang yang dapat membantu proses identifikasi seperti KTP atau SIM atau Ijazah korban dimana terdapat contoh sidik jari korban, sisir yang sering dipakai korban atau sikat gigi korban untuk mengambil sample DNA yang bisa dikumpulkan. Fase Ante Mortem juga merupakan fase yang membutuhkan banyak sukarelawan baik dalam mengumpulkan dan mencatat laporan yang masuk juga dibutuhkan sukarelawan dalam hal pendampingan psikologis bagi keluarga-keluarga korban bencana. Posko pelaporan orang hilang ini juga sebaiknya ditempatkan jauh dari tempat dimana fase Post Mortem dilaksanakan.

D. Fase Rekonsiliasi (Reconcilliation Phase)

Pada fase inilah kedua formulir dipertemukan dan dibahas. Fase ini dapat berlangsung cepat jika semua data yang ditemukan pada fase Post Mortem dapat langsung cocok dengan data yang dilaporkan pada fase Ante Mortem. Jika hal itu terjadi maka jenazah atau bagian tubuh korban dapat langsung diserahkan kepada kaum keluarga yang menunggu sehingga dapat segera dimakamkan. Pada fase ini juga diserahkan surat keterangan kematian bagi korban sebagai dokumen resmi yang akan dibutuhkan kaum keluarga nantinya. Tidak jarang juga fase ini berlangsung berhari-hari karena banyak ketidakcocokkan antara data yang ditemukan dengan data yang dilaporkan. Jika hal ini terjadi maka tim PM akan kembali ke kamar jenazah untuk kembali memeriksa jenazah atau potongan tubuh yang ada, sementara tim AM akan kembali menghubungi keluarga guna meminta data tambahan yang dibutuhkan. Berkaca pada bencana Lion Air JT610, fase ini belum selesai dilakukan mengingat jumlah potongan tubuh yang ada sedang menjalani proses pemeriksaan DNA. Sebagai perbandingan, proses identifikasi peristiwa World Trade Centre atau 9/11 masih berlangsung hingga kini. Ada jutaan sample dipusat data 9/11 menunggu diperiksa dan dicocokkan.

E. Fase Debrieving (Debrieving Phase)

Fase ini berlangsung saat semua korban selesai diidentifikasi dan diserahkan kepada keluarga. Fase ini juga berfungsi sebagai tahap analisa dan evaluasi akan prosedur dan operasi yang telah dilaksanakan, kendala yang dihadapi serta langkah antisipasi untuk operasi selanjutnya. Sesudah fase ini Commander in Chief akan mengambil keputusan untuk menutup operasi DVI yang dilakukan. Dengan menggunakan banyak pertimbangan baik jenis bencana, jumlah dan kondisi korban juga kondisi masyarakat dan adat istiadat setempat, Commander in Chief dapat menutup operasi DVI yang sedang dilakukan walaupun belum semua korban teridentifikasi atau ditemukan. Hal itulah yang terjadi pada operasi Donggala dimana jumlah korban yang begitu banyak dengan daerah cakupan yang begitu luas serta kondisi korban meninggal yang sudah mencapai tahap pembusukan lanjut maka walaupun tidak semua korban dapat diidentifikasi, operasi DVI Donggala dinyatakan ditutup dan semua korban segera dimakamkan pada sebuah pemakaman massal.

Begitu banyak aspek yang harus dilakukan dalam sebuah operasi DVI dengan berbagai kendala dan hambatan. Keterlibatan berbagai unsur sangat penting bagi keberhasilan operasi seperti ini. Koordinasi dan kerja sama selalu dikedepankan dalam pelaksanaan operasi DVI dalam upaya mencapai keberhasilan dalam proses identifikasi korban. Banyak emosi yang terlibat sehingga seringkali suatu operasi DVI merupakan suatu operasi yang harus dijalani dengan segala kesabaran dan ketelitian. Sebab mengembalikan jenazah kepada keluarga yang tidak semestinya merupakan suatu kesalahan yang fatal dan tidak boleh terjadi. ***

Bagikan :

KOMENTAR