BELAJAR SPORTIVITAS (Seharusnya Kita Malu Sama Anak-anak)

24 May 2017 - 08:05
sportiv-2

(Oleh: DR. Dra. Benedicta J. Mokalu, MSi / Sosiolog Unsrat)

Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai di Jakarta, Senin (22/5/2017 mengatakan, laporan Presidium Alumni 212 yang mendesak agar membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) untuk mengusut dugaan rangkaian intimidasi, teror, dan kriminalisasi ulama, akan disampaikan ke paripurna Komnas HAM. Menurut Pigai, laporan yang disampaikan Presidium Alumni 212 dan tim advokasi‎nya menjadi pantauan sementara para komisioner, untuk kemudian menindaklanjuti. Nantinya, jika didapatkan bukti-bukti yang mencukupi terkait dugaan pelanggaran HAM, maka akan diteruskan ke tahap penyelidikan selanjutnya, termasuk kemungkinan membentuk TPF. Diakui Pigai, sebelum Komnas HAM membentuk TPF, pihaknya terlebih dulu mendengarkan keterangan dari komunitas muslim khususnya ulama dan aktivis yang diduga mengalami ancaman, teror, dan kriminalisasi. Selanjutnya kami akan bertemu pemerintah yang bertanggung jawab, misalnya Menag, Menkumham dan lain-lain, serta tokoh-tokoh yang relevan.
Ilustrasi gambar ini sebagai sebuah kegiatan lomba lari anak-anak dengan obyek mengambil dan memindahkan batu. Syarat sebagai pemenang adalah mereka yang dengan cepat lari,mengambil batu dan meletakan batu pada batas garis awal. Kegiatan lomba mengambil batu ini dengan peserta adalah anak-anak. Kegiatan ini bisa dilakukan dengan group atau perorangan dan diawasi oleh dua orang juri yang menempati garis star dan garis akhir. Adapun hukuman bagi anak-anak yang main curang atau menghalangi lawan untuk menang akan mendapat sangsi berupa diskualifikasi (langsung dianggap kalah). Anak-anak baik sebagai perseta juga sebagai penonton sangat bersuka ria,bersorak dengan suara keras;cepat…..cepat,…ya!!!!! Sedikit lagi,….ya!!!! menang atau sebaliknya,ya!!!!kalah. Usai lomba semua peserta juga penonton sama-sama larut dalam suka cita. Tak ada lagi yang pikirkan menang atau kalah,tidak ada saling mengadu,apalagi saling menyalahkan. “Mengapa demikian?” Karena ini hanyalah sebuah permainan,tidak ada yang saling merugikan,semua senang,semua menerima dengan hati iklas.
Kami tidak akan memberi komentar atau membahas apa yang disampaikan oleh Komnas HAM, karena itulah tugas dan tanggungjawab yang dijamin Undang-Undang. Tetapi menurut kami ada beberapa hal yang menarik ketika kedua peristiwa di atas ini disandingkan  bersamaan,apalagi dengan mencermati foto kegiatan anak-anak. Pertama, kami sengaja sajikan kedua peristiwa ini karena realitas dalam hidup berbangsa dan bernegara lebih banyak orang-orang pintar dan usia menganjak punah bahkan yang pengalaman sudah makan asam garam, masih suka ‘bermain-main sesuka hati dalam hidup berbangsa dan bernegara,’ tetapi mereka tidak punya JIWA SPORTIVITAS,bahkan cara berpikir,cara bertindak,cara berbicara menunjukkan tidak lebih dewasa dari anak-anak. Contoh: Komnas HAM kerjanya hanya menunggu di tempat saja,banyak umbar janji,nanti kalau ada laporan pelanggaran HAM baru sibuk sendiri. Padahal seharusnya lebih proaktif menjemput kasus-kasus pelanggaran HAM di tengah masyarakat yang oleh karena rupa-rupa alasan sehingga para korban takut melapor. Kedua, inilah ajakan refleksi bagi semua pihak yang masih mencintai bangsa ini dan percaya bahwa hanya dengan kebersamaan bangsa ini pasti jauh lebih baik ke depan. “Anak-anak saja percaya,masa anda justru meragukan dan berusaha mengancurkan harmonitas bangsa ini. Yang benar saja!!!”
Untuk lebih jelas, mari kita cermati kembali secara saksama alinea ke dua dari tulisan ini,bahwa anak-anak ternyata lebih dewasa dalam sikap dan tindakan (sportivitas) sepanjang lomba berlangsung, seperti:
1.    Percaya bahwa juri berlaku adil. Sebelum lomba anak-anak sangat mencermati instruksi yang disampaikan oleh Juri dengan semua tata aturannya. Hal ini sangat nampak ketika anak-anak sudah berada di depan garis star. Ketika satu atau dua orang yang mendahului aba-aba star,harus diulang lagi. Maka dari peristiwa sederhana seperti ini sebenarnya mengandung pesan bahwa semua harus ikut aturan,jangan melawan aturan,jangan pernah main curang dalam segala hal.
2.    Mereka percaya diri bahwa bisa menang. Percaya diri ini sangat penting sebagai fungsi control kesehatan kejiwaan diri sendiri sekaligus sebagai modal untuk bergerak maju ke depan,dan menjadi orang terdepan. Pelajaran berharga bahwa hanya orang-orang sakit jiwa saja yang percayakan hidupnya dan masa depan pada orang lain.
3.    Fokus pada lomba dengan mengerahkan semua kekuatan. Kemampuan mengkoordinasi semua potensi diri,baik pikiran,tenaga sebagai satu kesatuan adalah modal dasar bagi seorang pemenang dalam setiap petandingan kehidupan. Hal ini membuat setiap orang menjadi lebih tanggunh,siap menghadapi semua akhibat dari setiap perbuatan,tidak akan pernah salahkan orang lain dalam hal apapun,berjiwa patriot sejati yang mengandalkan kebenaran sejati.
4.    Siap kalah dan siap menang. Seorang kesatria sejati tidak akan pernah mengagumi diri sebagai yang hebat ketika menang, atau meratapi nasib ketika kalah dalam sebuah arena pertandingan. Tetapi ia akan sangat bangga ketika pada akhir perlombaan ia disambut dengan pujian,suka cita bagaikan kembalinya seorang pahlawan dari medan perang,bukan cemoohan.
Banyak orang sudah menganggap dirinya sudah dewasa,sudah sangat pintar,sudah tahu segalanya karena memiliki pendidikan dan pengetahuan setinggi langit. Orang-orang seperti ini biasanya dalam masyarakat sering kali paksakan kehendak kepada orang lain dengan pengajaran-pengajaran sesat.  Sasaran mereka adalah orang-orang yang dianggap bodoh,lemah dan tidak berdaya. Tetapi ketika berhadapan dengan masalah hukum,bukannya dengan sportivitas tinggi dan dengan gagah berani siap menghadapi tuntutan hukum sebagai akhibat dari tutur kata dan tindakannya. Sayangnya,mereka biasanya mencari-cari alasan lalu lari dari kenyataan dengan sebarkan propaganda sesat. Bukan cuma itu, mereka juga salahkan pihak-pihak lain khususnya negara dengan sebutan kriminalisasi,diskriminasi,rasialis serta ribuan hujatan lainnya. “Apakah anda mencintai negeri ini dengan seluruh jiwa dan raga tanpa syarat? Untuk itu,mari kita jangan pernah malu berguru pada anak-anak untuk belajar sikap sportivitas.

Bagikan :

KOMENTAR