ORANG TERHORMAT

20 Jun 2017 - 09:06
(Oleh: DR. Dra. Benedicta J. Mokalu, MSi / Sosiolog Unsrat)

(Oleh: DR. Dra. Benedicta J. Mokalu, MSi / Sosiolog Unsrat)

Agamawan dan Politisi sejatinya adalah profesi sangat terhormat di negeri ini. Mereka merupakan sumber inspirasi dan sumber berkat bagi bangsa ini. Sejak zaman perjuangan hingga kini,suara mereka didengar,kata-kata mereka jadi acuan kebijakan pemerintah,perilaku mereka ditiru banyak orang,sebagai kekuatan penekan lawan politik bahkan mampu menaklukan ‘politk keberagaman.’Semua ini telah tersaji sangat apik ketika berlangsung Pilkada DKI Jakarta. Menyikapi hiruk pikuk Pilkada DKI Presiden Jokowi blusukan menemui ‘Orang Terhormat’ yakni tokoh-toko agama dan tokoh-tokoh politik. Untuk apa? Berbincang-bincang masalah bangsa,mencegah disintegrasi bangsa lalu dilanjutkan dengan makan bersama di Istana.” Mengapa demikian?
Pertama,Jokowi meneguhkan kembali bahwa inilah alam Indonesia yang selalu menaruh rasa hormat kepada Orang Terhormat. Predikat terhormat dari sisi pendekatan sosiologis lebih sebagai bentuk pengakuan masyarakat (sosial) akan semua citra suksesnya sepanjang proses interaksi. Idealnya,mereka adalah orang yang  sudah lulus ujian dalam proses bersejarah,punya kemampuan,punya daya tahan uji menghadapi perubahan sosial.
Kedua, bangsa ini masih menaruh ‘berjuta harapan’ agar Orang Terhormat masih tetap menjadi cermin dalam tutur kata dan tindakan. Tak heran kepada mereka dikenakan berupa kata-kata dengan muatan sangat ideal,seperti; manusia super,mampu mengotrol tutur kata dengan sangat terukur,punya tingkat kepekaan sangat tinggi,sebagai negarawan sejati,punya system filterisasi terhadap godaan sehingga tahan uji,sangat tidak pantas jadi pesakitan apalagi harus  masuk bui.
Hanya saja kadang-kadang Orang Terhormat tersebut terbuai dengan semua bentuk sanjungan dan bergelimpahan berkat yang membuatnya terlena,lupa dengan jati diri, lupa bahwa dirinya masih manusia biasa. Kesombongan diri telah menjerat Orang Terhormat sehingga melampaui batas-batas kesadaran dan batas-batas kewajaran dengan mendewakan dirinya. Padahal,sebagai manusia biasa pada titik tertentu tidak akan mampu mengalahkan semua bentuk dorongan,rangsangan,hawa nafsu atas nama sejumlah uang,serta rupa-rupa bentuk kekilafan lainnya. Tetapi apa daya,demi menegakkan hukum bahwa semua orang sama di depan hukum, sekalipun Orang Terhormat tersebut pada zamannya punya nama besar, punya pengikut banyak,punya jutaan relawan siap mati sahid.
Fakta sebagian Orang Terhormat di negeri ini ketika harus berhadapan dengan hukum mencari-cari alasan pembenaran sebagai upaya melawan hukum. Kalau perilaku Orang Terhormat seperti ini,apa yang bisa diharapkan? Jelas,negeri ini tidak butuh orang dengan perilaku seperti ini. Sebagai bangsa tidak boleh permisif terhadap siapapun,apalagi terbelenggu dengan perilaku dari orang atau sekelompok orang yang tidak mau taat aturan dalam tutur kata, dalam tindakan,serta dalam cara berpikir. Untuk itu, butuh tindakan bersama dengan tidak memberi ruang sejengkalpun bagi mereka untuk menanamkan pengaruhnya di tengah masyarakat bangsa. Oleh karena itu, kita harus berani tertibkan semua bentuk perilaku aneh yang bersifat massif di tengah masyarakat,seperti; tangkap dan laporkan ke Polisi mereka yang kumpulkan proposal ketika Pilkada dengan alasan membangun rumah ibadah,tokoh-tokoh agama jangan melacurkan diri ketika musim Pilkada,berani bertanya dan berani menolak pemberian dari siapapun dan dengan alasan apapun terutama dari pejabat dan pengusaha, harus merasa terhina dan melaporkan mereka yang memberi uang atau benda kepada Polisi, menolak menggunakan medsos untuk penyebaran kebencian,melaporkan kepada Polisi mereka yang menggunakan mimbar agama untuk memusuhi orang yang tidak sepaham,dllnya.”
Di tengah hingar bingar semarak perilaku yang tidak terhormat ini kiranya mampu memacu semangat juang,semangat kebersamaan meraih cita-cita bersama. Saat ini kita lebih butuh demokrasi ekonomi yang stabil dan mapan sebagai pengejawantahan cita-cita proklamasi 45. Perilaku transaksional dalam bentuk dan motif apapun baik sebagai penerima atau pemberi harus ditindak tegas demi terbangunnya rasa keadilan. Artinya,jika saja masih ada sikap kritis yang terbudaya dalam pola pikir maka idealnya harus mengantisipa agar tidak terjebak dalam praktek gratifikasi atau bentuk cuci uang lainnya. Karena hanya dengan penegakkan keadilan dan terutama kesadaran mau menolak semua pemberian sehingga kita mampu membersihkan semua praktek transaksional dan terutama diharapkan good governance dan urusan pelayanan public yang merata menjadi lebih baik seperti Negara Cina.
Kesemrawutan tata kelolah negara berdampak multi efek dan rasanya belum hilang dari ingatan kita dimana tokoh politik muda warisan reformasi seperti Nazarudin CS, kader terbaik dari Partai Demokrat usia dalam berpolitik hanya seumuran jagung. Selama sepuluh tahun masa kekuasaan SBY, program infrastruktur telah menjerat banyak elit politik sebagai pesakitan. Sulit dibayangkan 42 anggota DPR-RI harus masuk jeruji besi karena korupsi proyek infrastruktur. Tak hanya itu saja,ternyata ‘mahar politik’ yang sangat mahal mendorong Legislator dan pejabat Eksekutif tenggelam dalam kubangan lumpur korupsi. Bahkan hingga kini menyeret nama besar tokoh pejuang reformasi sekelas Amin Rais. Menurut Jaksa KPK ada duit haram sebesar Rp 600 juta yang masuk ke rekening Amien Rais. Bukan hanya satu kali transfer, tapi sebanyak enam kali transfer, masing-masing sebesar Rp 100 juta. Kisah keterceburnya Sang Legenda Reformasi ke dalam kubangan uang haram melahirkan multi tafsir. Salah satu isu di antaranya adalah ‘Pengalihan Isu Politik.’
Benarkah isu politik serta isu-isu lain yang bergulir liar sebagai babak baru bangsa ini menjelang Pilpres 2019? Apa yang terjadi bukan soal benar atau tidak benar,akan tetapi lebih sebagai sebuah fakta bahwa bangsa kita sepertinya sudah terbiasa dengan hingar bingar politik jalanan,politik kabar burung,politik salah sangka dan politik salah tafsir. Kondisi seperti ini sebagai pembenaran bahwa kualitas perpolitikan kita belum mengedepankan Rasa Sebangsa karena lebih mengedepakan ‘Rasa Suku dan Rasa Agama.’ Oleh karena itu ada pendapat mangatakan bahwa demokrasi kita belum berlandaskan pada aspek rasionalitas, yakni dengan terlebih dahulu menelaah duduk masalah sebelum melakukan sebuah tindakan dan terlebih program kerja. Contoh: Orang rajin berdemo karena ada himbauan dari rumah ibadah. Orang mau tawuran karena membela teman padahal belum ketahui duduk masalah. Orang menyerang rumah ibadah atau kelompok lain hanya karena Hoax,dllnya.
Benar bahwa hampir setiap demo di negeri ini peran langsung Orang Terhormat rupanya tidak pernah nampak jelas. Mereka oleh kecerdikannya selalu ada di belakang layar.Namun, harus disukuri oleh karena setiap kali demo selalu berakhir dengan suka cita,tidak terjadi gesekan berarti. Hanya saja patut ditanyakan juga,apakah ini murni berkat kesadaran berdemokrasi,kesadaran berbangsa dan bernegara atau karena adanya pengamanan dari pihak keamanan super ketat? Kalau Orang Terhormat saja tidak pernah berani menampakan muka,maka sama saja mempermaikan arah dan tujuan demokrasi supaya hilang jejak. “Bagaimana menurut anda?” Disilahkan semua orang menjawab sesuai persepsi dan asumsi masing-masing. Namun,satu hal pasti bahwa Pilkada DKI dengan bintang utama Ahok sudah usai. Ahok dengan lapang dada menerima hukuman 2 tahun keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara dan menarik banding yang diajukannya ke Pengadilan Tinggi Jakarta. Sikap Ahok ditanggapi beragam sebagai Negarawan dan pencitraan. Tetapi yang terpenting suasana DKI sudah mulai kondusif,sudah tidak ada lagi orang demo pro atau kontra.
Pilkada di Indonesia merupakan pesta demokrasi,murni peristiwa politik. Singkat kata Pilkada adalah murni pertarungan Orang Terhormat untuk meraih kekuasaan atau mempertahankan kekuasaan dengan cara-cara Terhormat. Bagi sebagian masyarakat bukan politisi rasanya kurang penting untuk dipikirkan. Hanya saja yang patut disayangkan akhir-akhir ini nasib Orang Terhormat mulai diutak atik akan kualitas ke-Negarawannya dan patut disayangkan karena mulai menuai hujatan Pencitraan mengalir kian deras.

Bagikan :

KOMENTAR