SAMPAH MEDIA PEMBELAJARAN BERTOLERANSI

10 May 2017 - 09:05
(Oleh: DR. Dra. Benedicta J. Mokalu, MSi / Sosiolog Unsrat)

(Oleh: DR. Dra. Benedicta J. Mokalu, MSi / Sosiolog Unsrat)

Sampah sebagai limba rumah tangga merupakan salah satu masalah yang tak berkesudahan dari semua kota di kolong langit ini. Negara-negara sudah maju menempatkan sampah sebagai salah satu komiditi industry,semua didaur ulang sehingga memberi manfaat baru bagi pemenuhan kebutuhan hidup manusia dan alam sebagai pupuk.
Bagi negara – negara sedang berkembang dengan teknologi masih terkebelakang menganggap sebagai masalah dan butuh penangan serius.
Dalam hidup bernegara dan berbangsa secara harafiah sampah dikonotasikan dengan manusia, baik orang pribadi maupun kelompok yang punya tindakan,pola pikir,karakter bertentangan dengan norma-norma sosial,budaya dan agama (orang dengan perilaku menyimpang) yang berlaku dalam sebuah masyarakat bangsa. Misalnya: para provokator yang memanfaatkan pluralisme bangsa sebagai nilai jual untuk memenangkan Pilkada. Pejabat Kementrian dengan cara-cara curang tanpa merasa bersalah melakukan suap-menyuap guna mendapatkan sertifikat terbaik dari lembaga BPK,serta seribu satu kecurangan lain yang sering terjadi dalam praktek birokrasi bangsa ini.
Sebagai masyarakat awam hanya berharap-harap cemas,kiranya pemerintah Jokowi – JK mampu mengentas semua jenis sampah birokrasi yakni berupa praktek curang yang merugikan negara selama ini. Tugas serupa juga dikenakan kepada semua masyarakat bangsa agar mau bersih-bersih lingkungan sehingga tidak ada tumpukan sampah yang berserakan di pinggir jalan,di tengah pemukiman warga. Bahkan sebuah harapan yang hampir sering terlupakan sekaligus pertanyaan kritis berupa: Mampukah kita semua mau berlomba bersih diri,bersih lingkungan seperti yang dikerjakan anak-anak dalam foto ini. Bersih-bersih tidak akan terjadi dengan sendirinya,tetapi harus melalui upaya bersama. Oleh karena itu, ada beberapa sikap yang harus kita lakukan,di antaranya:
1.    Idealnya harus dimulai dari diri sendiri. Bagi orang-orang dewasa pasti tidak perlu lagi diajarkan menjaga dan menciptakan lingungan bersih. “Benarkah demikian adanya?” Mudah-mudahan benar,hanya saja,kebiasaan itu sering kali tidak mudah untuk dibincangkan bahkan dianggap sangat mustahil untuk berubah karena sudah mendara daging. Orang membuang sampah dari dalam mobil selama tidak ditegur oleh orang lain atau petugas dianggap wajar-wajar saja. Sebaliknya ketika ditegur orang lain maka orang tersebut berkilah tidak sengaja,cuma plastic,cuma kertas bungkus kue,cuma puntung rokok,masa bisa boleh banjir,dllnya.
2.    Pendidikan nilai yang bermuara pada keiklasan nurani. Sudah sering dikatakan bahwa kebersihan diri dan keluarga (rumah bersih), lingkungan kerja bersih,meja kerja bersih,ruang kerja bersih,serta lingkungan bersih merupakan pancaran jiwa dari orang-orang ber-iman. Kata bersih sejatinya bukan hanya sebatas tidak ada sampah berserakan dan tidak ada kepulan asap rokok dengan menyebarkan sejuta aroma dalam ruangan full AC. Bersih di sini punya makna lebih mendalam,yakni jiwa dan nurani yang mampu memancarkan sinar suka cita. Dalam foto jelas terlihat anak-anak yang berlomba kumpulkan sampah terlihat sangat senang,ceria, penuh suka cita. Semangat suka cita inilah sesungguhnya sebagai senjata sehingga orang lain enggan mengajak atau mempengaruhinya melakukan rekayasa dan tipu daya. “Ibarat cermin yang polos ketika memancarkan air tanpa bekas karena air langsung mengalir tak tertahan dan kaca tetap bersih bersinar.”
3.    Proses edukasi melalui pembelajaran kebiasaan sejak usia dini sehingga harus dimulai dari keluarga. Apa yang sudah dilakukan keluarga-keluarga (orang tua) selama ini dalam menumbuhkan budaya bersih-bersih. Orang tua merupakan cermin dari anak-anak sehingga apa yang dinampakan oleh anak-anak saat ini dalam bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungan sosialnya merupakan buah dari proses pengendapan dalam keluarga.  Anak-anak yang sudah dibiasakan bahwa bersih-besih adalah kewajaran dan kewajiban tidak akan bermasalah ketika ada dalam lingkungan baru yang mengedepankan kebersihan. Pengalaman ini akan jauh berbeda bagi anak-anak yang tidak terbiasa dengan mengedepankan hidup bersih. Mereka akan melakukan juga tetapi dengan perasaan terpaksa dan asal-asalan saja.
Kebiasaan mencintai kebersihan secara sederhana bisa diterapkan dalam kegiatan kelompok ketika anak-anak ada di sekolah atau pada kegiatan-kegiatan keagamaan. Salah satu cara menanamkan nilai kebersihan yakni ketika mengikuti sebuah acara anak-anak diajak mengikuti  lomba mengumpulkan sampah. Sebagai insentif disiapkan hadiah untuk merangsang daya juang dan semangat berlomba. Biasanya ketika menawarkan hadiah yang lebih besar dan menarik semangat anak-anak akan lebih menggebu-gebu,juga sebaliknya. Dalam berbagai teori pendidikan sering dikatakan bahwa indicator keberhasilan dapat diukur ketika semakin banyak anak-anak yang dengan penuh semangat mengikuti lomba tersebut.
Berbicara masalah sampah dan bersih-bersih tidak akan berkesudahan sepanjang kita belum mampu mengubah kebiasaan-kebiasaan buruk dengan merusak lingkungan hidup,tempat tinggal,tempat kerja. Mungkin saja belum terlambat membiasakan budaya bersih-bersih,cinta kebersihan,merawat lingkungan  dan pemukiman dimulai dari lingkungan keluarga masing-masing dengan cara membangun kesadaran,terutama mengubah karakter,tabiat dimulai dari diri sendiri dan dimulai dengan kebiasaan-kebiasaan kecil. Misalnya: setiap keluarga mengajarkan anak untuk buang sampah di tempat sampah yang disediakan setiap keluarga,tidak dibiasakan bicara kotor dan jorok,tidak mencercah orang lain sekalipun orang tersebut ada kesalahan,dllnya. Demikian halnya mengolah sampah pemerintah bisa mengadopsi keberhasilan negara-negara maju yang telah mengubah sampah menjadi nilai ekonomis. Sehingga pada akhirnya setiap orang pun akan berkata puji syukur ternyata sampah adalah media pembelajaran bertoleransi yang sangat dibutuhkan bangsa plural seperti Indonesia.

Bagikan :

KOMENTAR