SILATURAHMI LINTAS RASA

07 May 2017 - 09:05
(Oleh: DR. Dra. Benedicta J. Mokalu, MSi / Sosiolog Unsrat)

(Oleh: DR. Dra. Benedicta J. Mokalu, MSi / Sosiolog Unsrat)

Sebelum diberlakukan aturan Keluaraga Berencana (KB) pada era 70-an, yakni dua anak, sebenarnya setiap keluarga berlomba-lomba punya anak banyak. Pemahaman masyarakat kala itu, bahwa banyak anak  – banyak rejeki. Ada keyakinan ketika anak-anak sudah dewasa bisa meringankan pekerjaan,menciptakan rasa aman, orang lain segan melakukan hal-hal yang tidak baik,hingga orang tua jadi kaya raya. Bahkan keluarga yang punya anak banyak diduga mendapat apresiasi positif dari pandangan agama, bahwa Tuhan sudah siapkan semuanya,berupa ungkapan penguatan; “tidak usah kuatir membesarkan anak-anak,serahkan saja sama Tuhan. Coba lihat, burung–burung di udara tidak punya kebun dan tidak punya rumah,tetapi Tuhan sediakan makanan tak berkekurangan. Ada tempat berlindung dikala hujan,panas dan pada malam hari.” Hebatnya lagi,keluarga – keluarga yang punya anak banyak hidup aman damai, berkecukupan,tidak berkekurangan,anak-anak bertumbuh sehat, bebas dari penyakit degenaratif, psikotropika,HIV/AIDS sekalipun dihantui masalah kurang gisi, kebersihan lingkungan, malaria,kurang pendidikan, TBC, kolera,kusta,mutu SDM rendah,dllnya.
Keluarga adalah halaman terdepan dari sebuah negara. Kehidupan semua keluarga pada setiap jaman merupakan bagian yang tak terpisahkan dari realitas perjuangan bangsa. Negara sebagai keluarga besar dengan jumlah warga sekitar 250-an juta,pasti tak akan pernah terpisahkan dengan rupa-rupa masalah, baik yang bersumber dari dalam negeri juga bersumber dari pengaruh-pengaruh luar (internasional). Masyarakat yang berpikiran positif meyakini bahwa semakin banyak masalah harus disyukuri karena sebagai pertanda bahwa negara tersebut sedang dalam proses bergerak maju (progresif positif). Justru yang harus benar-benar waspada adalah ketika sebuah bangsa terlihat hanya aman-aman saja. Hanya saja yang jadi persoalan adalah cara kita sebagai bangsa menyelesaikan semua masalah yang terjadi dan menghindari kejadian serupa di masa depan.
Mencermati suasana kebathinan semua keluarga sebangsa pada semester Pertama tahun 2017, ada satu masalah sangat serius sehingga segera harus ditangani,yakni wacana penertiban (pembubaran) Ormas.  Pertanyaan: “Ada apa dengan Ormas dan mengapa harus dibubarkan?”
Kami tidak akan masuk terlalu jauh karena ini domain pemerintah (pihak berwajib) dalam proses penegakan hukum. Dalam ulasan ini kami mencoba membahasakan reaksi dari masyarakat menanggapi wacana pembubaran Ormas yang diduga beraviliasi dengan gerakan radikalis internasional. Wacana ini membuat sebagian para pengamat bingung dan sikap masyarakat terpecah. Para Humanis dibawa komando Komisi HAM dengan tegas mengatakan menolak kalau wacana pemerintah ini tanpa melalui prosedur hukum ke-ormasan yang berlaku. Tindakan sepihak jelas melanggar HAM berorganisasi sesuai amanah UUD 1945.
Kelompok “Nasionalis”dengan tegas mengatakan,demi NKRI,Pancssila,UUD 45,Pluralisme, maka semua Ormas yang menyebarkan kebencian serta berpotensi disintegrasi bangsa harus dibubarkan hanya dengan Keputusan Presiden (Kepres) saja. Adapun dasar pemikiran sederhana,bahwa kalau pembunuh sudah masuk dalam rumah pasti mau membunuh. Maka sebelum memakan korban lebih banyak,sebaiknya pembunuh tersebut sudah ditaklukan terlebih dahulu,entah hidup atau mati. Pembunuh yang sudah kembuhan (berdarah dingin) biasanya akan mengulang perbuatannya. Mereka tidak akan pernah merasa menyesal,sebaliknya sangat bangga ketika banyak orang menyuarakan keberpihakan kepada mereka untuk bersama-sama melawan negara. Mereka tahu parsis kelemahan proseduran penegakan hukum di negeri ini sangat panjang dan berbelit – belit. Kalau tidak menggunakan Kepres berarti kita  membiarkan bangsa ini bubar dalam hitungan hari.
Sikap kaum Agamis dan Politisi terkesan “agak malu-malu.” Mereka sepertinya sangat hati-hati mencermati wacana ini, karena bagaimanapun hampir semua Ormas di negeri ini secara sosiologis dan kultural sangat dekat dengan tokoh-tokoh agama dan politisi. Walaupun kebenaran ini kurang nampak dipermukaan, tetapi kultur masyarakat kita masih menaruh rasa hormat kepada yang berlabel “tokoh.” Paling tidak, Ormas, tokoh agama dan politisi diduga saling memanfaatkan (simbiosis mutualisma). Tokoh agama sebagai penasihat spiritual dan politisi adalah corong untuk ‘numpang lewat’ sebagai kendaraan menyuarakan perjuangan kelompok. Pada ujungnya semua sudah terang benderang, yakni uang dan kuasa.
Sikap,persepsi dan apresiasi dalam mengeskpresikan diri dan kepentigan kelompok diberi ruang yang sama dalam negara demokrasi. Tetapi tidak semua harus turun ke jalan dengan mengerahkan masa. Kan masih ada banyak cara lain mengekspresikan demokrasi. Apalagi sebagai keluarga besar sebangsa kita punya tugas yang sama yakni merawat “ikatan lintas rasa” menjadi lebih kuat. Kita tidak hanya menuntut tetapi harus ingat juga saudara-saudara lain punya kepentingan. Fakta sejarah membuktikan bahwa  kita adalah satu keluarga,kita adalah saudara sebangsa,kita semua adalah putra dan putri ibu Pertiwi. Sebagai satu keluarga, sejatinya bangsa ini sudah punya rambu-rambu untuk menyelesaikan semua masalah, yakni bersilaturahmi. Dalam semangat bersilaturahmi kita harus berani berkomitmen bahwa menyelesaiakn semua masalah sesama anak bangsa tidak akan saling hujat menghujat, menyebarkan fitnah dan permusuhan melainkan dengan cara lebih manusiawi yang beradab, yakni dengan merangkul, mendengar,memaafkan, karena musuh kita bersama adalah kemiskinan, obat-obatan psikotropika, korupsi, nepotisme, kemalasan, hedonism, HIV/AIDS,dll.
Polri selama ini sudah menuaikan tugas dengan sangat maksimal meredam semua penyakit sosial masyarakat. Namun,semua warga bangsa tak boleh jenuh merangkul dan dengan sabar menuntun sesama sebagai saudara. Pengalaman mengajarkan bahwa; ujung senapan tidak akan pernah menyelesaikan masalah,justru hanya melahirkan masalah baru. Pengerahan masa hanya menghasilkan risau, benci, swasangka. Demikian juga Palu Hakim (penegakan hukum) yang tidak berkeadilan hanya melahirkan pelanggar hukum baru. Bersilahturahmi adalah semangat bangsa,murni sentuhan bathin. Oleh karena itu, mari kita gelorakan kembali semangat bersilaturahmi lintas rasa bersama Korps Bayangkara guna menyatukan pluralisme bangsa.

Bagikan :

KOMENTAR